Saat adzan subuh mulai berkumandang kulihat sosok
perempuan tangguh yang saat itu membangunkanku untuk segera mengambil air wudhu
dan melakukan salat. Ya, itu ibuku. Seorang ibu rumah tangga pada umumnya.
Murtiningsih, perempuan yang sudah tidak lagi muda
itu membangunkanku dengan penuh perhatian dengan memegang kakiku sambil
berbisik “Ayo Bangun.” Lantas aku pun terbangun dan segera melangkahkan kakiku
menuju kamar mandi. Setelah selesai salat, aku melihatnya dari tempatku salat
ternyata ibuku juga di dalam ruangan yang sama melaksanakan salat.
Aku memandang ibuku sedang mengangkat kedua
tangannya untuk berdoa. Entah aku tidak mengetahui apa yang sedang dipintanya
kepada Sang Pencipta, namun selama aku memperhatikannya ada raut wajah yang
sangat tegar dalam doanya.
Ibuku adalah sosok yang sangat luar biasa bagiku.
Setiap hari ia selalu membuatkan makanan (bekal) untuk dibawa ke kantor, ke
sekolah, serta ke kampus oleh suami dan anak-anaknya. Aku tau, ibu pasti lelah
dan mengantuk karena sebelum adzan subuh beliau sudah bangun terlebih dahulu
untuk menyiapkan menu masakan apa yang harus dibuatnya hari itu.
Saat memasak, kulihat ada cucuran keringat yang
mengalir dari leher ke bajunya. Namun, ibuku selalu menunjukkan bahwa kegiatan
seperti itu merupakan tanggung jawabnya. Ada rasa sesak dalam dadaku, sangat
sedih melihatnya mempersiapkan segala keperluan suami dan anak-anaknya di saat
langit belum menunjukkan sinarnya.
Langit semakin terang, matahari pun sudah bergerak
menuju timur. Aku sudah bersiap-siap berangkat menuju kampusku. Ia sudah
berdiri di depan pagar rumah untuk sekedar melihatku mengendarai motor hingga
menghilang dari penglihatannya. Sebelum berangkat ada pesan yang selalu menjadi
ciri khas ibu, yaitu “Baca doa, hati-hati di jalan ya nak.” Pesan itu selalu
aku ingat dalam perjalanan menuju kampusku. Terkadang, air mataku pun tumpah
karena merasakan betapa perhatiannya ibu yang begitu besar padaku.
Sore itu setelah sampai rumah, aku mematikan mesin
motorku dan bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata aku melihat ibuku
sedang membersihkan rumah seorang diri. Ya, karena memang tidak ada orang di
rumah selain ibuku. Menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak, mencuci baju,
hingga menyapu halaman adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukannya tanpa
lelah, tanpa mengeluh sedikit pun.
Ketika aku melepaskan sepatu dan tasku, ibuku
memandangku sambil menebar senyum lebar kepadaku. Senyum itu kulihat senyum
yang begitu ikhlas ia tebarkan. Sepertinya tak ingin ada yang tau betapa lelah
dirinya yang setiap hari melakukan tugas sebagai ibu rumah tangga.
Setiap kali aku ingin membantunya ia menolaknya.
Ibuku selalu berkata bahwa aku harus fokus terhadap pelajaran dan kuliahku
hingga mencapai cita-citaku. Bagaimana mungkin aku sebagai anaknya membiarkan
ibuku mengerjakan itu sendiri.
Namun, lagi-lagi ia berkata bahwa itu merupakan
tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Yang ia inginkan hanya satu bahwa
ia ingin melihat anak-anaknya fokus untuk sukses suatu saat nanti. Perkataan
lain yang selalu ia ucapkan adalah bersyukur bisa memiliki keluarga kecil yang
menjadi bagian terindah dalam hidupnya.
Bahkan saat makan pun, terkadang ia makan paling
terakhir di antara ayahku dan adik-adikku. Lantas aku pun bertanya mengapa ibuku
demikian, lalu ia pun menjawab bahwa ia ingin melihat keluarga kecilnya itu
makan terlebih dahulu karena telah melakukan aktivitas di luar sedangkan ia
hanya di rumah.
Mendengar jawaban itu pun sontak membuat air mataku
hampir tumpah. Sedih amat sedih sangat luar biasanya ibuku yang benar-benar
menyayangiku, ayahku, serta adik-adikku tanpa syarat. Apa pun yang ia lakukan
untukku akan ku lakukan untuknya juga.
Bagiku, ia adalah sosok perempuan yang
kujadikan alasan pertama saat aku sukses nanti. Aku pun selalu mendoakan ibuku
agar tangan kasihnya yang selalu memberikan belaian serta kasih sayang kepadaku
agar mendapat berbagai ribu kebaikan
yang selalu mengiringi setiap langkahnya. Aku sangat menyayangimu lebih dari
apapun, Ibu.