Pasar Depok Jaya memang
saat ini menjadi pusat dari berbagai kalangan yang datang untuk melakukan
aktivitas setiap hari. Sejak pagi hingga malam pasar ini selalu ramai dipadati
oleh banyak orang. Keramaian terlihat saat banyaknya pengunjung yang berlalu
lalang untuk mencari kebutuhannya masing-masing.
Sore itu kulihat sosok
wanita yang sudah tidak lagi muda sedang menengok kanan kiri di sekitarnya
sambil mengipas-ngipas dagangannya. Segagang kayu minimalis beserta lembaran
plastik yang diikat pada kayu tersebut dikibaskannya agar tidak ada lalat yang
hinggap di sekitar dagangannya. Ya, dia adalah Emi, seorang penjual berbagai
macam jajanan pasar tradisioanal di area pasar tersebut.
Sejak pagi saat matahari
mulai menampakkan sinarnya, ia berangkat ke pasar tersebut untuk berjualan
dengan mengayuh sepeda bututnya setiap hari. Jarak yang lumayan jauh dari rumah
menuju pasar tempatnya berjualan pun tak jadi penghalang dirinya untuk tetap
mencari uang.
Sebelum ia berangkat
menuju pasar tempatnya berjualan saat ini. Kue-kue yang akan dijualnya terlebih
dahulu ia dapatkan dari orang-orang yang menitipkan kue buatan mereka kepada Bu
Emi. Keuntungan yang hanya didapatkannya sebesar dua ratus rupiah per satu macam
kue dirasa cukup untuk makan sehari-hari. Ya, pendapatan itu memang tidak
terlalu besar, namun ia tetap mensyukurinya.
Ia berjualan di pinggir kios
berukuran kecil milik salah satu temannya yang juga seorang pedagang di sana.
Sebenarnya kios itu ditempatkan oleh teman Bu Emi dan ia hanya menumpang untuk
berjualan di pinggir kios temannya dengan pinggir kios yang lain. Namun, ia
harus tetap membayar sewa kios tersebut selama berjualan di sana. Lima belas
juta rupiah adalah uang yang jumlahnya tidak sedikit dan tetap harus dibayarnya
selama dua tahun sekali.
Suasana di dalam pasar itu
memang ramai. Banyak orang berlalu lalang di depannya, namun tak seorang pun
ada yang membeli kue-kue Bu Emi. Mungkin karena sudah memasuki waktu sore
sehingga kue itu tidak fresh lagi
atau mungkin saja sudah banyak debu yang menempel sejak dijualnya dari pagi. Ia
mengaku sedih jika kue-kue itu tak habis dijualnya dalam waktu seharian.
Telihat dari wajahnya ia
begitu lelah dan mengantuk. Bayangkan ia berjualan dari pagi hingga sore hari.
Jika kue tersebut belum habis terjual, seorang temannya dengan senang hati
membantu Bu Emi dengan meneriaki pengunjung pasar, “Ayo…ayo… kuenya,
gorengannya..” pada saat itu aku lihat Bu Emi sangat senang karena banyak
orang-orang mendekatinya untuk membeli kue-kue yang dijualnya, terbukti dengan
senyum yang mengembang pada bibirnya.
Sang suami yang sudah tak
lagi muda juga masih berusaha mencari nafkah untuk makan sehari-hari berdua
dengan Bu Emi. Maklum, anak-anaknya sudah berumah tangga sehingga mereka sudah
tidak lagi tinggal bersama orang tua. Kini Bu Emi dengan sang suami pun harus
tetap bertahan hidup dengan mencari uang, meskipun Bu Emi harus berjualan
jajanan pasar tradisional.
Saat ini jajanan pasar
tradisional mungkin sudah tidak lagi banyak diminati. Akan tetapi, Bu Emi tetap
optimis bahwa rezeki sudah diatur setiap hari oleh Sang Pencipta.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat dan berguna bagi orang lain kan mba?
BalasHapusIntinya harus selalu bersyukur kak
BalasHapus